1.
Kerusuhan Medan
Aksi
unjuk rasa yang dikumandangkan setiap hari di berbagai kota besar Indonesia
sudah mendekati titik puncaknya. Masyarakat sudah tidak dapat menahan emosi dan
rasionalitas lagi. Dalam keadaan seperti ini masyarakat akan sangat mudah untuk
dipengaruhi dan diajak melakukan tindakan yang tidak terpuji. Mereka kehilangan
kesabaran karena harus menunggu sangat lama reaksi dari wakil rakyat atas
kehendak mereka yang disuarakan oleh mahasiswa. Mereka sangat yakin dan selalu
mendukung mahasiswa, sayangnya tidak dengan wakil rakyat yang tidak mendegar suara mereka.
Padahal mereka melakukan aksi hampir setiap hari dan sudah turun ke jalan
bersama masyarakat untuk menuntut Reformasi di segala bidang aksi ini
menjadi tak terkendali dan mulai melakukan keonaran.
Medan
merupakan kota besar pertama yang dilanda kerusuhan besar berkaitan dengan
Reformasi. Mulai dari hari Senin tanggal 4 Mei 1998 pecah kerusuhan sampai hari
Kamis 7 Mei 1998. Pembakaran, perusakan dan penjarahan terhadap toko-toko,
bank, pasar, dan kendaraan terjadi selama beberapa hari. Tampaknya mahasiswa
tidak mampu mengendalikan perusuh, tidak juga aparat keamanan. Kerusuhan ini pun menjalar terus sampai keluar kota
Medan.
Dampak
dari kerusuhan adalah lumpuhnya perekonomian kota Medan dan sekitarnya.
Penduduk Medan keturunan Cina juga pergi meninggalkan kota karena merasa
keamanan mereka tidak terjamin, walau ada juga yang tinggal untuk melindungi
harta benda mereka supaya tidak dijarah. Selama beberapa hari masyarakat
kesulitan mendapat bahan makanan pokok.
2. Tragedi
Yogyakarta
Kerusuhan juga terjadi di Yogyakarta
pada tanggal 5 Mei 1998, hampir bersamaan dengan kerusuhan yang terjadi di
Medan. Kejadian ini merupakan kerusuhan pertama di Yogyakarta yang terkait
dengan tuntutan Reformasi dari masyarakat dan mahasiswa yang bentrok dengan
aparat keamanan. Perusakan dan pembakaran terjadi pada hari Selasa hingga malam
hari.
Peristiwa ini berawal dari unjuk rasa
mahasiswa yang dilakukan di beberapa Universitas di Yogyakarta. Mahasiswa
Yogyakarta sangat aktif menyuarakan Reformasi bersama dengan mahasiswa di
Medan. Sekitar 5000 mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta
melakukan demonstrasi di Bundaran kampus UGM selama kurang lebih 4 jam lamanya.
Demonstrasi yang berlangsung dengan tertib tersebut menyampaikan pernyataan
keprihatinan mahasiswa atas kondisi perekonomian saat itu yang dilanda krisis
moneter, memprotes kenaikan harga-harga dan mendesak untuk dilakukannya
Reformasi.
Pada saat yang bersamaan siang itu,
ratusan orang juga melakukan demonstrasi di halaman kampus Universitas Sanata
Dharma (USD), Yogyakarta. Menjelang sore hari mereka ingin bergerak menuju
kampus UGM untuk menggabungkan diri melakukan unjuk rasa di sana. Ternyata
aparat keamanan tidak mengijinkan dan berhadap-hadapan dengan mahasiswa yang
bergabung dengan masyarakat. Pelaku unjuk rasa kecewa dan tidak mau membubarkan
diri, sehingga terjadi bentrokan. Bentrokan berlangsung hingga malam hari dan
setelah bentrokan ternyata ditemukan korban meninggal yaitu Moses Gatotkaca.
3. Tragedi
Trisakti
Kejatuhan perekonomian Indonesia sejak
tahun 1997 membuat pemilihan pemerintahan Indonesia saat itu sangat menentukan
bagi pertumbuhan ekonomi bangsa ini supaya dapat keluar dari krisis ekonomi.
Pada bulan Maret 1998 MPR saat itu walaupun ditentang oleh mahasiswa dan
sebagian masyarakat tetap menetapkan Soeharto sebagai Presiden. Tentu saja ini
membuat mahasiswa terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis dengan
menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden. Cuma ada jalan
demonstrasi supaya suara mereka didengarkan.
Demonstrasi mahasiswa semakin
menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta, sampai akhirnya
berlanjut terus hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama kali adalah pada
tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta karena mahasiswa
dihadang Brimob dan di Bogor karena mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam
kampus IPB sehingga bentrok dengan aparat. Saat itu demonstrasi gabungan
mahasiswa dari berbagai perguruan tingi di Jakarta merencanakan untuk secara
serentak melakukan demonstrasi turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar
Jabotabek. Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya di Rawamangun dan di
Bogor sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka dan
masuk rumah sakit.
Setelah keadaan semakin panas dan
hampir setiap hari ada demonstrasi tampaknya sikap Brimob dan militer semakin
keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani turun ke jalan. Pada
tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak
pemilihan kembali Soeharto sebagai Presinden Indonesia saat itu yang telah
terpilih berulang kali sejak awal orde baru. Mereka juga menuntut pemulihan
keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997.
Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti
di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang oleh aparat kepolisian
mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan
terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlansung sepanjang sore hari dan
mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya
baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka.
Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998
hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan di daerah Grogol
dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan
tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta geger dan mencekam.
4. Kerusuhan Mei
1998
Kemarahan masyarakat terhadap
kebrutalan aparat keamanan dalam peristiwa Trisakti dialihkan kepada orang
Indonesia sendiri yang keturunan, terutama keturunan Cina. Betapa amuk massa
itu sangat menyeramkan dan terjadi sepanjang siang dan malam hari mulai pada
malam hari tanggal 12 Mei dan semakin parah pada tanggal 13 Mei siang hari setelah
disampaikan kepada masyarakat secara resmi melalui berita mengenai gugurnya
mahasiswa tertembak aparat.
Sampai tanggal 15 Mei 1998 di Jakarta
dan banyak kota besar lainnya di Indonesia terjadi kerusuhan besar tak
terkendali mengakibatkan ribuan gedung, toko maupun rumah di kota-kota
Indonesia hancur lebur dirusak dan dibakar massa. Sebagian mahasiswa mencoba
menenangkan masyarakat namun tidak dapat mengendalikan banyaknya massa yang
marah.
Setelah kerusuhan, yang merupakan
terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia pada abad ke 20, yang tinggal
hanyalah duka, penderitaan, dan penyesalan. Bangsa ini telah menjadi bodoh
dengan seketika karena kerugian material sudah tak terhitung lagi padahal
bangsa ini sedang mengalami kesulitan ekonomi. Belum lagi kerugian jiwa di mana
korban yang meninggal saat kerusuhan mencapai ribuan jiwa. Mereka meninggal
karena terjebak dalam kebakaran di gedung-gedung dan juga rumah yang dibakar
oleh massa. Ada pula yang psikologisnya menjadi terganggu karena peristiwa
pembakaran, penganiayaan, pemerkosaan terhadap etnis Cina maupun yang terpaksa
kehilangan anggota keluarganya saat kerusuhan terjadi. Sangat mahal biaya yang
ditanggung oleh bangsa ini.
Akhirnya dibentuk Tim Gabungan Pencari
Fakta (TGPF) untuk menyelidiki masalah ini karena saat itu Indonesia
benar-benar menjadi sasaran kemarahan dunia karena peristiwa memalukan dengan
adanya kejadian pemerkosaan dan tindakan rasialisme yang mengikuti peristiwa
gugurnya Pahlawan Reformasi. Demonstrasi terjadi di kota-kota besar dunia mengecam
kebrutalan para perusuh. Akhirnya untuk meredam kemarahan dunia luar negri TGPF
mengeluarkan pernyataan resmi yang menyatakan bahwa adalah benar terjadi
peristiwa pemerkosaan terhadap wanita etnis minoritas yang mencapai hampir
seratus orang dan juga penganiayaan maupun pembunuhan oleh sekelompok orang
yang diduga telah dilatih dan digerakkan secara serentak oleh suatu kelompok
terselubung. Sampai saat ini tidak ada tindak lanjut untuk membuktikan kelompok
mana yang menggerakkan kerusuhan itu walau diindikasikan keterlibatan personel
dengan postur mirip militer dalam peristiwa itu.
5. Pendudukan
gedung DPR/MPR oleh mahasiswa
Dalam keadaan yang mulai terkendali
setelah mencekam selama beberapa hari sejak tertembaknya mahasiswa Trisakti dan
terjadinya kerusuhan besar di Indonesia, tanggal 18 Mei 1998 hari Senin siang,
ribuan mahasiswa berkumpul di depan gedung DPR/MPR dan dihadang oleh tentara
yang bersenjata lengkap, bukan lagi aparat kepolisian. Tuntutan mereka yang
utama adalah pengusutan penembakan mahasiswa Trisakti, penolakan terhadap
penunjukan Soeharto sebagai Presiden kembali, pembubaran DPR/MPR 1998,
pembentukan pemerintahan baru, dan pemulihan ekonomi secepatnya.
Kedatangan ribuan mahasiwa ke gedung
DPR/MPR saat itu begitu menegangkan dan nyaris terjadi insiden. Suatu saat
tentara yang berada di depan gedung atas tangga sempat mengokang senjata mereka
sehingga membuat panik para wartawan yang segera menyingkir dari arena
demonstrasi. Mahasiswa ternyata tidak panik dan tidak terpancing untuk melarikan
diri sehingga tentara tidak dapat memukul mundur mahasiswa dari gedung DPR/MPR.
Akhirnya mahasiswa melakukan pembicaraan dengan pihak keamanan selanjutnya
membubarkan diri pada sore hari dan pulang dengan menumpang bus umum.
Keesokan harinya mahasiswa yang
mendatangi gedung DPR/MPR semakin banyak dan lebih dari itu mereka berhasil
menginap dan menduduki gedung itu selama beberapa hari. Keberhasilan meduduki
gedung DPR/MPR mengundang semakin banyaknya mahasiswa dari luar Jakarta untuk
datang dan turut menginap di gedung tersebut. Mereka mau menunjukkan kalau
reformasi itu bukan hanya milik Jakarta tapi milik semua orang Indonesia.
Soeharto akhirnya menyerah pada
tuntutan rakyat yang menghendaki dia tidak menjadi Presiden lagi, namun
tampaknya tak semudah itu reformasi dimenangkan oleh rakyat Indonesia karena ia
meninggalkan kursi kepresidenan dengan menyerahkan secara sepihak tampuk
kedaulatan rakyat begitu saja kepada Habiebie. Ini mengundang perdebatan hukum
dan penolakan dari masyarakat. Bahkan dengan tegas sebagian besar mahasiswa
menyatakan bahwa Habiebie bukan Presiden Indonesia. Mereka tetap bertahan di
gedung DPR/MPR sampai akhirnya diserbu oleh tentara dan semua mahasiswa digusur
dan diungsikan ke kampus-kampus terdekat. Paling banyak yang menampung
mahasiswa pada saat evakuasi tersebut adalah kampus Atma Jaya Jakarta yang
terletak di Semanggi.
6. Tragedi
Semanggi
Pada bulan November 1998 pemerintahan
transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu
berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan.
Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan ini dan
mereka mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan
pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Pada tanggal 12 November 1998 ratusan
ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala
arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana
karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa
(pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa).
Esok harinya Jum'at tanggal 13 November 1998 ternyata banyak mahasiswa dan
masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya,
bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di depan kampus Atma Jaya Jakarta.
Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga
siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan
masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah
sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang
bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan
lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri,
sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan
membabibuta oleh aparat dan saat di jalan itu juga sudah ada mahasiswa yang
tertembak dan meninggal seketika di jalan.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Atma
Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan dan masyarakat yang terluka.
Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi
penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan saat itu juga lah semakin
banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka.
Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan
disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu hingga
jumlah korban yang meninggal mencapai 15 orang, 7 mahasiswa dan 8 masyarakat.
Indonesia kembali membara tapi kali ini tidak menimbulkan kerusuhan.
Anggota-anggota dewan yang bersidang
istimewa dan tokoh-tokoh politik saat itu tidak peduli dan tidak mengangap
penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun mahasiswa, jika tidak mau
dikatakan meninggalkan masyarakat dan mahasiswa berjuang sendirian saat itu.
Peristiwa itu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa untuk biaya demokrasi.
"Itulah yang harus dibayar mahasiswa kalau berani melawan tentara".
7. Tragedi
Semanggi II
Bangsa Indonesia harus mengucurkan air
matanya kembali. Untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan
kepada mahasiswa dalam menghentikan penolakan sikap mahasiswa terhadap
pemerintahan. Lokasi penembakan mahasiswa pun di tempat yang sangat strategis
yang dapat dipantau oleh banyak orang awam yaitu di bawah jembatan Semanggi,
depan kampus Universitas Atma Jaya Jakarta, dekat pusat sentra bisnis nasional
maupun internasional.
Kala itu adanya pendesakan oleh
pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan
Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan dan mahasiswa sangat
memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai
kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar
untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB karena ini menentang
tuntutan mereka untuk menghilangkan dwifungsi ABRI/TNI. Karena hanya dengan
berdemonstrasi, mereka yang mau mensahkan Undang-Undang tersebut baru berpikir,
sebab tampaknya mereka sudah tak punya hati nurani lagi dan entah bagaimana
membuat mereka peduli dengan bangsanya daripada peduli terhadap perut buncit
mereka itu yang duduk di kursi parlemen menggunakan logo Pancasila dengan
bangganya di jas mereka.
8.
Tragedi Lampung
Tragedi Lampung
terjadi berawal ketika mahasiswa dari Universitas Lampung (Unila) berjalan
menuju Universitas Bandar Lampung (UBL) untuk bergabung dengan rekan mereka
melakukan aksi untuk menentang RUU PKB serta unjuk rasa solidaritas bagi rekan
mereka yang meninggal dari Universitas Indonesia, Yun Hap, empat hari
sebelumnya di Jakarta. Setelah bergabung, mereka melakukan unjuk rasa dan
berjalan menuju Makorem 043/Garuda Hitam. Akan tetapi, ketika melewati Markas
Koramil Kedaton dekat UBL mahasiswa terprovokasi karena bendera merah putih
masih dipasang penuh, dengan segera mereka menurunkannya menjadi setengah tiang
demi penghormatan bagi Pahlawan Reformasi mereka yang baru saja gugur.
Setelah itu
keadaan menjadi tidak terkendali karena Komandan Koramil menolak kehendak
mahasiswa untuk menandatangani penolakan diberlakukannya UU PKB sehingga
mahasiswa melempari kantornya dengan batu. Anggota Koramil lainnya menghindar
untuk kemudian setelah itu membalas dengan melakukan penembakan. Mahasiswa
terpencar dan lari menyelamatkan diri ke dalam kampus UBL. Muhammad Yusuf
Rizal, mahasiswa jurusan FISIP Universitas Lampung (Unila) angkatan 1997,
meninggal dunia dengan luka tembak di dadanya tembus hingga ke belakang dan
juga sebutir peluru menembus lehernya. Ia tertembak di depan markas Koramil
Kedaton. Puluhan mahasiswa juga mengalami luka-luka sehingga harus masuk rumah
sakit.
Reformasi Indonesia Tahun 1998
cr. to owner
0 komentar:
Posting Komentar